BREAKING NEWS

Politik Maluku Utara Dalam Cengkeraman Oligarki dan Krisis Ekologi


Maluku Utara tengah menghadapi tekanan serius dari eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali dan lemahnya sistem politik dalam merespons aspirasi publik. Dominasi oligarki dan krisis lingkungan memperlihatkan gejala disfungsi politik yang mengancam legitimasi pemerintahan lokal.


Sebagai wilayah yang dikenal sejak abad ke-15 sebagai “negeri rempah-rempah”, Maluku Utara memiliki posisi penting dalam sejarah perdagangan global. Ternate, Tidore, Halmahera, dan gugusan pulau lainnya bukan hanya pusat komoditas strategis, tetapi juga arena konflik kekuasaan antara kerajaan lokal, pedagang asing, dan kolonial.


Kini, kejayaan masa lalu telah bergeser menjadi arena eksploitasi nikel, laut, dan hutan. Transformasi ekonomi ini memicu lonjakan investasi dan pembangunan infrastruktur, namun juga memunculkan ketimpangan, konflik sosial, serta ancaman ekologis yang kian nyata.


Demokrasi Lokal Terkunci dalam Oligarki

Secara formal, sistem politik Maluku Utara bersifat demokratis: ada pemilu, DPRD, dan mekanisme partisipatif seperti Musrenbang. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan dominasi oligarki lokal—koalisi informal antara elite politik, pengusaha tambang, dan pejabat birokrasi.


Jaringan patronase ini membajak sistem politik dari dalam, mengerdilkan ruang partisipasi masyarakat, dan menyulitkan transparansi. Masukan dari kelompok marginal—seperti masyarakat adat, nelayan, dan aktivis lingkungan—tidak terserap dalam proses kebijakan. Sebaliknya, suara-suara kritis kerap diabaikan demi kepentingan elite.


Contoh nyata terjadi dalam praktik perizinan tambang yang dilakukan secara tertutup, tanpa evaluasi lingkungan yang transparan, dan sering menabrak keberatan warga.


Ledakan Ekspansi Tambang dan Kerusakan Lingkungan


Aktivitas pertambangan di Halmahera Tengah, Timur, dan Selatan mengubah lanskap ekologis secara signifikan. Hutan yang dulu menjadi benteng kehidupan kini berubah menjadi kawasan industri. Sungai tercemar, laut terganggu sedimentasi, dan masyarakat pesisir kehilangan sumber penghidupan.


Sayangnya, respons pemerintah daerah cenderung permisif. Pengawasan lingkungan lemah, regulasi tak ditegakkan, dan perusahaan sering dibiarkan melanggar tanpa sanksi. Kondisi ini menunjukkan kegagalan sistem dalam membentuk umpan balik yang sehat dan berkelanjutan.


Tuntutan Rakyat Terabaikan, Legitimasi Tergerus


Gelombang protes dari masyarakat sipil, mahasiswa, dan tokoh adat makin kencang. Ini adalah alarm serius: sistem tidak responsif terhadap tuntutan bawah. Mekanisme partisipasi seperti Musrenbang lebih bersifat formalitas, bukan wadah nyata untuk memperjuangkan hak rakyat.


Dalam kerangka teori politik David Easton, sistem yang gagal menyerap dan mengonversi input masyarakat akan mengalami disartikulasi—ketidaksesuaian antara harapan dan realitas kebijakan. Jika dibiarkan, masyarakat akan menarik dukungan, mempercepat krisis legitimasi.


Rekomendasi: Perlu Reformasi Politik Lokal


Agar tidak terjebak dalam jurang delegitimasi dan disfungsi, berikut langkah yang perlu segera dilakukan pemerintah daerah Maluku Utara:


Bangun mekanisme partisipasi yang inklusif, bukan sekadar formalitas.

Revitalisasi fungsi legislatif agar menjadi jembatan aspirasi rakyat, bukan perpanjangan tangan eksekutif.


Tegakkan hukum lingkungan secara tegas, tanpa kompromi pada kepentingan korporasi.

Jamin kebebasan masyarakat sipil dan media, sebagai penjaga umpan balik sistem.


Sistem politik harus menjadi wadah responsif terhadap tuntutan rakyat dan adaptif terhadap tekanan lingkungan. 


Maluku Utara memiliki kekayaan luar biasa, tetapi hanya bisa dinikmati secara adil jika sistem politiknya dibersihkan dari dominasi oligarki dan diselaraskan dengan prinsip keadilan ekologis dan sosial.


Oleh: Riswan Wadi

Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Nasional


Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar